HASNIA
Roscoe
pound adalah seorang ahli hukum berhaluan sosiologis yang pertama mengemukakan
pemikiran mengenai Sociological
jurisprudence, dan metodologi ilmu-ilmu sosial.
Hingga saat itu, filsafat yang telah dianut selama berabad-abad dituding telah
gagal dalam menawarkan teori semacam itu, fungsi logika sebagai sarana berpikir
semakin terabaikan dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh Langdell serta para
koleganya dari Jerman. Ucapannya
yang sangat populer dalam bidang sosiologi hukum adalah penggunaan hukum sebagai
a tool of social engineering (alat
rekayasa masyarakat atau sarana pembangunan masyarakat).
Masyarakat senantiasa mengalami perubahan,
perubahan merupakan salah satu makna dari perkembangan sebagai terjemahan dari “development” yang menunjuk pada suatu
proses yang sedang berlangsung (J.Soedjati Djiwandono, 1991). Proses yang
dimaksud dapat mengarah pada dua keadaan, yaitu pertumbuhan (growth) dan perubahan (change) (Nurhasan
Ismail, 2006) Baik perubahan yang cepat atau lambat, menonjol atau tidak,
fundamental atau hanya hal-hal kecil. Masyarakat tidak hanya kumpulan manusia
melainkan masyarakat tersusun dalam pengelompokan dan pelembagaan. Kenyataan
tersebut menunjukkan bahwa unsur-unsur yang menentukan susunan maupun pola
kehidupan bukan individu melainkan kelompok atau lembaga tersebut.
Kesenjangan antara hukum dan perilaku
nyata dalam masyarakat menjadi pemandangan sehari-hari. Kita mengenal
ungkapan-ungkapan yang mencoba menggambarkan kesenjangan seperti “law in books” dan “law
in action” demikian pula berbagai istilah yang menghakimi hukum seperti
yang ditulis dalam buku Chambliss dan Seidman yang mengatakan, hukum lebih
banyak mengandung “kebohongan”.
Hubungan antara hukum dan moralitas
tampaknya mulai terkikis dan pada akhirnya akan menghilang dari kesadaran
masyarakat. Sehingga keputusan, pola pemikiran dan perilaku sesungguhnya
bersifat problematic dan absurd. Pada akhirnya menjadi alam asing
pengetahuan yang hanya menjadi perhatian para praktisi hukum. Salah satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini adalah
apabila terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment
yaitu diaman hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak
efektif, Gejala semacam itu akan timbul, apabila ada faktor-faktor tertentu
yang menjadi penghambat. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk
hukum (Legislatif), penegak hukum (yudikatif), para pencari keadilan, maupun kelompok-kelompok
yang ada dalam masyarakat. Selain itu kondisi sosial ekonomi (kemiskinan dan
budaya materialistik) juga mempengaruhi tingkatan kepatuhan hukum di dalam
masyarkat. Karena tidak jarang masyarakat patuh terhadap hukum disebabkan oleh
adanya unsur paksaan (Complience),
takut teralinasi dari lingkungan sosial (identification)
namun ada juga disebabkan karena dorongan dari dalam dirinya (Legal Concieseness). Faktor-faktor itulah
yang harus diidentifikasikan jika hukum menjadi sarana yang dipilih untuk
mencapai tujuan tersebut dan prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan
hukum sebagai sarana atau alat, tetapi perlu pengetahuan yang mendalam tentang
sifat-sifat hukum serta batasan di dalam penggunaan hukum sebagai sarana atau
alat untuk mengubah ataupun mengatur perilaku masyarakat agar tidak menimbulkan
gejolak ataupun konflik sosial.
Sebagaimana
dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo sistem hukum di tengah masyarakat modern
saat ini mempunyai ciri yang menonjol, penggunaannya telah dilakukan secara
sadar oleh masyarakat. Hukum tidak lagi dipahami dan dipakai untuk mengukuhkan
pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan
untuk mengarahkannya kepada tujuan yang dikendaki, menghapuskan kebiasaan yang
dipandangnya tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan
sebagainya. Hal tersebut senada dengan
pandangan Robert King Merton tentang fungsi sistem hukum sebagai control social manifest dan control social latent. Secara sederhana control social manifest yaitu sesuatu
yang dikehendaki, dinyatakan secara tegas, membangun perilaku konfrontasi masyarakat
untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan yang dinyatakan sebagai tujuan. Sedangkan
control social latent adalah sesuatu
yang tidak dikehendaki, tidak dinyatakan secara jelas namun dapat membangun
perilaku tertentu dan mewujudkan tujuan tertentu. Contoh fungsi latent pada
perundang-undangan adalah yang terjadi di Amerika Serikat dengan diundangkannya
“ Social Security Act 1935”
undang-undang tersebut dikelurkan dengan tujuan untuk memberikatn kepastian
mengenai tercapainya tingkat kehidupan yang minimum di masyarakat, dengan
demikian inilah yang merupakan fungsi manifest peraturan tersebut. Contoh yang
dapat dikemukakan untuk keadaan Indonesia barang kali adalah pengundangan
tentang larangan untuk menarik cek yang kosong. Pemidanaannya menimbulkan
akibat yang merugikan lalu lintas perdagangan, dimana cek itu merupakan hal
penting di dalam bidang tersebut. (Satjipto Rahardjo, 1980). Sebagaimana uraian
tersebut fungsi latent dapat bekerja secara fungsional, disfungsional ataupun
netral (irrelevant) terhadap sistem yang berlaku. Hal inilah yang disebut
sebagai pandangan modern tentang hukum yang mengarah pada penggunaannya sebagai
suatu instrumen.
Dalam praktek
pemerintahan Indonesia konsep law as a tool of social engineering di
populerkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, yang menyatakan bahwa hukum di Indonesia
tidak cukup berperan sebagai alat melainkan juga sebagai sarana pembaharuan
masyarakat. Nampaknya Mochtar membedakan kedua hal tersebut namun terpenting
adalah dalam penggunaan hukum sebagai sarana/alat/instrumen rekayasa sosial,
pemahaman terhadap kondisi sosial masyarakat dan analsisis fungsional efektivitasnya
harus mendapat perhatian dari berbagai aspek. Oleh karena itu, dalam melakukan identifikasi
permasalahan hukum, dinilai memerlukan prioritas untuk dilakukan pembaharuan
yang dibedakan antara, masalah-masalah yang langsung menyangkut kehidupan
pribadi seseorang dan erat kaitannya dengan budaya dan spiritual masyarakat
yang biasa diistilahkan dengan bidang hukum yang Non-Netral, karena
mengandung aspek emosional, psikologis, dan magis religius, Masalah-masalah
yang bertalian erat dengan kemajuan masyarakat pada umumnya, misalnya hukum
perseroan, hukum kontrak, hukum lalu lintas, atau lebih dikenal dengan istilah
bidang hukum yang Netral yang dilihat dari aspek budaya akan lebih mudah
untuk ditangani secara ideal, seharusnya penggunaan hukum sebagai
sarana/alat/instrumen sebagai bagian dari upaya untuk mengefektifkan
keberlakuan hukum dengan menggunakan kemampuan akal yang dikonsepkan oleh
mazhab hukum positivistis tidak perlu dipertentangkan dengan pendirian mazhab
sejarah yang menyatakan bahwa hukum itu tumbuh dan berkembang bersama dan dalam
pengalaman masyarakat. Oleh karena apabila pemerintah hendak menggunakan hukum
tertulis (peraturan perundang-undangan) sebagai alat rekayasa sosial dalam
melaksanakan pembangunan/pembaharuan, maka peraturan perundang-undangan yang
dihasilkan pemerintah harus sesuai dengan kepentingan dan nilai-nilai yang
hidup dan berkembang di dalam masyarakat.
Namun faktanya
yang terjadi di Indonesia tidak sebagaimana yang diharapkan. Gagalnya hukum sebagai
alat rekayasa sosial tidak mampu membawa masyarakat Indonesia menjadi sejahtera,
jelas nampak dari adanya tuntutan untuk melakukan reformasi hukum, misalnya di
bidang agraria.
Sebagaimana
yang tertuang dalam TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam serta Kepres No.34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di
Bidang Pertanahan yang merupakan respon pemerintah terhadap kegagalan
penggunaan hukum (peraturan perundang-undangan) sebagai sarana/alat rekayasa. Sehubungan
dengan itu, muncul berbagai pertanyaan misalnya mengapa penggunaan hukum (peraturan
perundang-undangan) sebagai alat/sarana/instrumen rekayasa dalam melaksanakan pembangunan/pembaharuan
di Indonesia mengalami kegagalan? Faktor-faktor apa yang mengakibatkan
kegagalan tersebut? Dan banyak lagi pertanyaan yang mengganjal terkait hal
tersebut.
Dengan
demikian maka, menggunakan hukum sebagai sarana rekayasa sosial dengan mengeluarkan
berbagai peraturan perundang-undangan tanpa dasar berpijak pada nilai-nilai
yang dapat diambil dari berbagai putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dan bernilai sebagai jurisprudensi yang merupakan wadah/wahana yang
menampung perkembangan nilai-nilai yang ada di masyarakat, merupakan tindakan
yang kurang tepat (keliru) dan tak dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu,
penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa sosial hanya mungkin dapat dilakukan apabila
potensi untuk berkembangnya hukum kebiasaan ataupun adat-istiadat, sebagai instrumen
di dalam masyarakat yang memiliki kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri dan diberi
ruang dalam sistem hukum nasional.
Namun
nampaknya harapan tersebut hanya mimpi yang tak akan berwujud real dalam
kehidupan masyarakat bangsa Indonesia, karena yang nampak hanya adanya
keinginan untuk menempatkan hukum negara (hukum tertulis) sebagai
satu-satunya instrumen yang memadai untuk mengantarkan masyarakat Indonesia
menuju kemajuan dan kesejahteraan. Hal ini menunjukkan bahwa penganut aliran positivisme
hukum dalam strategi pembangunaan hukum di Indonesia, pada intinya hendak menyatakan
bahwa, masyarakat Indonesia yang maju akan dapat tercipta apabila
pemerintah/negara menciptakan dan menggunakan hukum tertulis sebagai sarana
untuk mengakomodir perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat.
Jika
aliran positivisme hukum menyatakan bahwa hukum itu diciptakan dan dapat
digunakan sebagai sarana/alat/instrumen rekayasa sosial (law as a tool of
social enginering) untuk mendorong dan menciptakan perubahan dalam
masyarakat, maka aliran sejarah berpendapat bahwa hukum bukan diciptakan, namun
ditemukan dalam masyarakat. Apabila ditelusuri lebih lanjut, penerapan konsep hukum
sebagai sarana/alat/ instrumen rekayasa sosial dengan menempatkan hukum
tertulis yang dibuat atas dasar aliran hukum positivisme bertentangan dengan
politik hukum yang diletakkan oleh Founding Fathers yang
menempatkan hukum adat sebagai sumber utama pembentukan hukum nasional, atas dasar
Sila ketiga , Persatuan Indonesia dan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang
mencerminkan adanya pluralism hukum di
Indonesia, namun tetap dalam bingkai persatuan.
Pancasila
yang dirumuskan oleh Bung Karno, Bhinneka Tunggal Ika yang diangkat dari karya besar
Mpu Prapanca dalam buku Sutasoma, serta Sila Persatuan, kesemuanya menunjukkan
bahwa nilai-nilai yang hendak dijadikan dasar untuk mengatur kehidupan
berbangsa dan bernegara (yang merupakan peculiar form of social life bangsa
Indonesia) adalah nilai-nilai yang ada, tumbuh dan berkembang pada masyarakat Indonesia,
seperti musyawarah, gotong royong, komunalis, dan magis religius, serta
menghargai kebhinekaan (pluralisme). Oleh karena jauh sebelum kemerdekaan diproklamirkan,
telah terdapat kesepakatan untuk menjadikan hukum adat sebagai sumber utama
pembentukan hukum nasional. Jika demikian, maka pluralisme yang saling
menunjang dalam bingkai NKRI merupakan suatu konsekuensi logis. Pluralisme
menuntut adanya sikap saling mempercayai, saling menghargai, saling menghormati,
dan saling membantu dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara,
bukan subordinasi, diskriminasi dan eksploitasi Bukankah salah satu issue yang
mencuat kepermukaan yang mengiringi fenomena kecenderungan desintegrasi NKRI
adalah adanya eksploitasi sumber daya alam oleh pemerintah pusat terhadap
daerah melalui instrumen hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) yang
dibuat secara sepihak oleh pemerintah pusat, tanpa koordinasi dengan pemerintah
daerah, yang secara ekonomis hanya menguntungkan pemerintah pusat atau pengusaha.
Dengan
demikian cara berhukum yang harus dilaksanakan di Indonesia sebagai negeri yang
pluralis adalah dengan memberi ruang untuk tumbuh dan berkembangnya The Living Law pada
masyarakat dan mensinergi-kannya dengan kepentingan nasional melalui
upaya yang dikenal dengan harmonisasi hukum. Namun kenyataan yang
berkembang tidaklah demikian. Hukum adat yang kiranya menjadi sumber
utama dalam pembentukan hukum nasional ternyata semakin lama semakin
tidak jelas kedudukan dan fungsinya dalam pembentukan hukum
nasional, bahkan terkesan adanya upaya yang secara sistematis untuk
menegasikan keberadaan hukum adat. Hal ini jelas terlihat dalam UU No.5/1960
tentang UUPA yang hanya memungkinkan hukum adat berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang atau Peraturan lain yang lebih
tinggi atau kepentingan nasional (yang tidak jelas tafsirnya).
Fenomena
di atas digambarkan dengan istilah “Memasukkan kambing (hukum adat) ke dalam
kandang macan (hukum negara/hukum nasional/ hukum modern), sebagai akibat
tindakan pada ahli hukum yang (merumuskan berbagai peraturan
perundangundangan, kursif penulis) terlalu normatif, tanpa kesadaran
anthropologis dan sosiologis yang cukup. (Sajipto Rahardjo, 2005) yang kini tinggal
menunggu saatnya kambing (hukum adat) tersebut dimangsa. Probematika
lainnya juga ini juga tergambar pada UU No.5/79 tentang Pemerintahan Desa yang
membabat habis institusi lokal seperti, Marga, Gampong, Nagari dari akar sosiologisnya
yaitu masyarakat hukum adat, dan mengganti-kannya dengan desa (modern) yang
tidak mempunyai akar sosiologis. Dengan demikian maka secara formal tamatlah
riwayat hukum adat sebagai the living law.
Indonesia
yang demikian, merupakan suatu ironi apabila dibandingkan dengan negara-negara seperti
Jepang yang mempertahankan kejepangannnya/nasionalitasnya di tengah serbuan hukum
modern melalui Japanenesse Twist-nya, atau Inggris yang tetap mempertahankan
Common Law System dengan tetap konsisten pada pola pembentukan
hukum melalui Judge Made Law-nya, dengan tetap mempertahankan
nilai-nilai asli yang tumbuh dalam masyarakatnya. Namun ke dua negara tersebut
dapat mencapai kedudukan sebagai negara modern.
Dengan
demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa masih ada cara-cara berhukum lainnya
yang dapat menghantarkan suatu masyarakat menjadi modern, yang besar
kemungkinan menimbulkan penolakan oleh suatu masyarakat, apabila suatu sistem
hukum asing (termasuk hukum modern) dipaksakan (impossed) berlaku pada
masyarakat, karena hukum yang dipaksakan berlaku tidak begitu efektif dan kemungkinan besar bertentangan dengan peculiar
form of social life dari masyarakat yang bersangkutan. Kondisi demikian lebih
dikenal dengan istilah “Law of non transferability of law” (Robert B.Seidman, dalam Ronny
Hanitijo Soemitro,1998)
Penghancuran
institusi-institusi lokal otonom, yang selama ini menjadi pilar utama berfungsinya
proses sosial pada masyarakat dilakukan oleh negara/ pemerintah dengan
menggunakan berbagai peraturan perundang-undangan (hukum positif tertulis).
Hal
ini menunjukkan bahwa, pemerintah beranggapan bahwa hanya peraturan perundang-undanganlah
(hanya hukum positif tertulis) yang memadai dan mampu menjadi alat rekayasa
sosial untuk mengantarkan masyarakat Indonesia mencapai kesejahteraan,
kemakmuran dan keadilan. Pemerintah tidak mempercayai bahwa hukum adat sebagai The
Living Law akan mampu membawa masyarakat menuju cita-cita nasional tersebut.
Kondisi
di atas menunjukkan terjadinya perubahan paradigma yang mendasar dalam cara berhukum dan bernegara, yaitu dari cara berhukum
yang semula non-positivis dan pluralis menjadi cara berhukum atas dasar faham
positivis dan sentralistis. Hal ini jelas nampak dari politik hukum yang
mengutamakan keinginan untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum nasional yang
pada dasarnya merupakan implementasi dari ajaran atau mazhab hukum positivisme.
Dari
uraian diatas dapat dikatakan terjadi dominasi hukum nasional atas hukum yang hidup
pada masyarakat atau The Living Law. Untuk dapat mengefektifkan
penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa sosial di Indonesia, maka setidaknya harus
dipenuhi beberapa persyaratan antara lain (Yacob Djasmani, 2011):
- Penghargaan terhadap the living law;
- Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan hendaklah diprioritaskan pada bidang bidang hukum yang bersifat netral;
- Memberikan kebebasan pada hakim untuk memutus perkara berdasarkan the living law, atas dasar faham hukum non positivistis;
- Melakukan inventarisasi putusan-putusan hakim yang memuat nilai-nilai hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sebagai pencerminan kesadaran hukumnya sebagai bahan hukum primer dalam pembuatan peraturan perundang-undangan;
- Mengembankan hubungan yang bersifat sinergi dalam pembuatan perundang-undangan sebagai upaya mengharmonisasikan berbagai kepentingan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengembankan kebijakan yang bersifat top down maupun bottom up secara simultan dan mencegah adanya upaya pemaksaan secara hukum baik oleh pusat terhadap daerah, maupun sebaliknya;
- Mengembangkan lembaga peradilan yang dapat menjadi badan yang menyelesaikan sengketa hukum antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah;
- Mengembangkan public control terhadap berbagai produk perundang-undangan, dll.
Disamping syarat diatas juga perlu
adanya kelompok pendorong dalam masyarakat yang akan menjadi penggerak
rasionalisasi hukum itu, agar sasaran yang ingin dicapai dapat ditentukan
dengan jelas.
Kesimpulan
Secara
teoritis, penerapan konsep Law as Tool of Social Engineering dimungkinkan
di Indonesia, karena secara sosiologis perkembangan hukum di Indonesia lebih
dekat pada sejarah perkembangan hukum yang termasuk pada kelompok Common Law
System yang menempatkan masyarakat dan hakim sebagai aktor yang sangat
berperan dalam membentuk/ menciptakan hukum, namun karena pengunaan hukum
sebagai sarana rekayasa sosial di Indonesia tidak didasarkan pada konsep Common
Law System yang memaknakan hukum sebagai Judge Made Law, namun yang ada hanyalah faham
hukum Civil Law System yang bersifat positivistis, sehingga hukum
dimaknakan sebagai Act yang harus dipatuhi oleh rakyat, dan hanya dibuat
oleh pemegang kedaulatan (penguasa), maka penerapan konsep tersebut dalam
rangka pembangunan hukum nasional mengalami kegagalan.
Kegagalan
penerapan konsep law as tool of social engineering diakibatkan oleh
karena, nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan
tidak berdasarkan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar