Laman

Senin, 22 April 2013

HUKUM SEBAGAI INSTRUMENT PERUBAHAN SOSIAL DALAM PRAKTEK BERHUKUM DI INDONESIA



HASNIA
           
Roscoe pound adalah seorang ahli hukum berhaluan sosiologis yang pertama mengemukakan pemikiran mengenai Sociological jurisprudence, dan metodologi ilmu-ilmu sosial. Hingga saat itu, filsafat yang telah dianut selama berabad-abad dituding telah gagal dalam menawarkan teori semacam itu, fungsi logika sebagai sarana berpikir semakin terabaikan dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh Langdell serta para koleganya dari Jerman. Ucapannya yang sangat populer dalam bidang sosiologi hukum adalah penggunaan hukum sebagai a tool of social engineering (alat rekayasa masyarakat atau sarana pembangunan masyarakat).  

Masyarakat senantiasa mengalami perubahan, perubahan merupakan salah satu makna dari perkembangan sebagai terjemahan dari “development” yang menunjuk pada suatu proses yang sedang berlangsung (J.Soedjati Djiwandono, 1991). Proses yang dimaksud dapat mengarah pada dua keadaan, yaitu pertumbuhan (growth) dan perubahan (change) (Nurhasan Ismail, 2006) Baik perubahan yang cepat atau lambat, menonjol atau tidak, fundamental atau hanya hal-hal kecil. Masyarakat tidak hanya kumpulan manusia melainkan masyarakat tersusun dalam pengelompokan dan pelembagaan. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa unsur-unsur yang menentukan susunan maupun pola kehidupan bukan individu melainkan kelompok atau lembaga tersebut.

Kesenjangan antara hukum dan perilaku nyata dalam masyarakat menjadi pemandangan sehari-hari. Kita mengenal ungkapan-ungkapan yang mencoba menggambarkan kesenjangan seperti “law in books”  dan “law in action” demikian pula berbagai istilah yang menghakimi hukum seperti yang ditulis dalam buku Chambliss dan Seidman yang mengatakan, hukum lebih banyak mengandung “kebohongan”.

Hubungan antara hukum dan moralitas tampaknya mulai terkikis dan pada akhirnya akan menghilang dari kesadaran masyarakat. Sehingga keputusan, pola pemikiran dan perilaku sesungguhnya bersifat problematic dan absurd. Pada akhirnya menjadi alam asing pengetahuan yang hanya menjadi perhatian para praktisi hukum. Salah satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini adalah apabila terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment yaitu diaman hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif, Gejala semacam itu akan timbul, apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi penghambat. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum (Legislatif), penegak hukum (yudikatif), para pencari keadilan, maupun kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Selain itu kondisi sosial ekonomi (kemiskinan dan budaya materialistik) juga mempengaruhi tingkatan kepatuhan hukum di dalam masyarkat. Karena tidak jarang masyarakat patuh terhadap hukum disebabkan oleh adanya unsur paksaan (Complience), takut teralinasi dari lingkungan sosial (identification) namun ada juga disebabkan karena dorongan dari dalam dirinya (Legal Concieseness). Faktor-faktor itulah yang harus diidentifikasikan jika hukum menjadi sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan tersebut dan prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai sarana atau alat, tetapi perlu pengetahuan yang mendalam tentang sifat-sifat hukum serta batasan di dalam penggunaan hukum sebagai sarana atau alat untuk mengubah ataupun mengatur perilaku masyarakat agar tidak menimbulkan gejolak ataupun konflik sosial.

Sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo sistem hukum di tengah masyarakat modern saat ini mempunyai ciri yang menonjol, penggunaannya telah dilakukan secara sadar oleh masyarakat. Hukum tidak lagi dipahami dan dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan untuk mengarahkannya kepada tujuan yang dikendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandangnya tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya. Hal tersebut senada  dengan pandangan Robert King Merton tentang fungsi sistem hukum sebagai control social manifest dan control social latent. Secara sederhana control social manifest yaitu sesuatu yang dikehendaki, dinyatakan secara tegas, membangun perilaku konfrontasi masyarakat untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan yang dinyatakan sebagai tujuan. Sedangkan control social latent adalah sesuatu yang tidak dikehendaki, tidak dinyatakan secara jelas namun dapat membangun perilaku tertentu dan mewujudkan tujuan tertentu. Contoh fungsi latent pada perundang-undangan adalah yang terjadi di Amerika Serikat dengan diundangkannya “ Social Security Act 1935” undang-undang tersebut dikelurkan dengan tujuan untuk memberikatn kepastian mengenai tercapainya tingkat kehidupan yang minimum di masyarakat, dengan demikian inilah yang merupakan fungsi manifest peraturan tersebut. Contoh yang dapat dikemukakan untuk keadaan Indonesia barang kali adalah pengundangan tentang larangan untuk menarik cek yang kosong. Pemidanaannya menimbulkan akibat yang merugikan lalu lintas perdagangan, dimana cek itu merupakan hal penting di dalam bidang tersebut. (Satjipto Rahardjo, 1980). Sebagaimana uraian tersebut fungsi latent dapat bekerja secara fungsional, disfungsional ataupun netral (irrelevant) terhadap sistem yang berlaku. Hal inilah yang disebut sebagai pandangan modern tentang hukum yang mengarah pada penggunaannya sebagai suatu instrumen.

Dalam praktek pemerintahan Indonesia konsep law as a tool of social engineering di populerkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, yang menyatakan bahwa hukum di Indonesia tidak cukup berperan sebagai alat melainkan juga sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Nampaknya Mochtar membedakan kedua hal tersebut namun terpenting adalah dalam penggunaan hukum sebagai sarana/alat/instrumen rekayasa sosial, pemahaman terhadap kondisi sosial masyarakat dan analsisis fungsional efektivitasnya harus mendapat perhatian dari berbagai aspek. Oleh karena itu, dalam melakukan identifikasi permasalahan hukum, dinilai memerlukan prioritas untuk dilakukan pembaharuan yang dibedakan antara, masalah-masalah yang langsung menyangkut kehidupan pribadi seseorang dan erat kaitannya dengan budaya dan spiritual masyarakat yang biasa diistilahkan dengan bidang hukum yang Non-Netral, karena mengandung aspek emosional, psikologis, dan magis religius, Masalah-masalah yang bertalian erat dengan kemajuan masyarakat pada umumnya, misalnya hukum perseroan, hukum kontrak, hukum lalu lintas, atau lebih dikenal dengan istilah bidang hukum yang Netral yang dilihat dari aspek budaya akan lebih mudah untuk ditangani secara ideal, seharusnya penggunaan hukum sebagai sarana/alat/instrumen sebagai bagian dari upaya untuk mengefektifkan keberlakuan hukum dengan menggunakan kemampuan akal yang dikonsepkan oleh mazhab hukum positivistis tidak perlu dipertentangkan dengan pendirian mazhab sejarah yang menyatakan bahwa hukum itu tumbuh dan berkembang bersama dan dalam pengalaman masyarakat. Oleh karena apabila pemerintah hendak menggunakan hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) sebagai alat rekayasa sosial dalam melaksanakan pembangunan/pembaharuan, maka peraturan perundang-undangan yang dihasilkan pemerintah harus sesuai dengan kepentingan dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat.
Namun faktanya yang terjadi di Indonesia tidak sebagaimana yang diharapkan. Gagalnya hukum sebagai alat rekayasa sosial tidak mampu membawa masyarakat Indonesia menjadi sejahtera, jelas nampak dari adanya tuntutan untuk melakukan reformasi hukum, misalnya di bidang agraria.

Sebagaimana yang tertuang dalam TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam serta Kepres No.34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan yang merupakan respon pemerintah terhadap kegagalan penggunaan hukum (peraturan perundang-undangan) sebagai sarana/alat rekayasa. Sehubungan dengan itu, muncul berbagai pertanyaan misalnya mengapa penggunaan hukum (peraturan perundang-undangan) sebagai alat/sarana/instrumen rekayasa dalam melaksanakan pembangunan/pembaharuan di Indonesia mengalami kegagalan? Faktor-faktor apa yang mengakibatkan kegagalan tersebut? Dan banyak lagi pertanyaan yang mengganjal terkait hal tersebut.

Dengan demikian maka, menggunakan hukum sebagai sarana rekayasa sosial dengan mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan tanpa dasar berpijak pada nilai-nilai yang dapat diambil dari berbagai putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan bernilai sebagai jurisprudensi yang merupakan wadah/wahana yang menampung perkembangan nilai-nilai yang ada di masyarakat, merupakan tindakan yang kurang tepat (keliru) dan tak dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa sosial hanya mungkin dapat dilakukan apabila potensi untuk berkembangnya hukum kebiasaan ataupun adat-istiadat, sebagai instrumen di dalam masyarakat yang memiliki kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri dan diberi ruang dalam sistem hukum nasional.

Namun nampaknya harapan tersebut hanya mimpi yang tak akan berwujud real dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia, karena yang nampak hanya adanya keinginan untuk menempatkan hukum negara (hukum tertulis) sebagai satu-satunya instrumen yang memadai untuk mengantarkan masyarakat Indonesia menuju kemajuan dan kesejahteraan. Hal ini menunjukkan bahwa penganut aliran positivisme hukum dalam strategi pembangunaan hukum di Indonesia, pada intinya hendak menyatakan bahwa, masyarakat Indonesia yang maju akan dapat tercipta apabila pemerintah/negara menciptakan dan menggunakan hukum tertulis sebagai sarana untuk mengakomodir perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat.

Jika aliran positivisme hukum menyatakan bahwa hukum itu diciptakan dan dapat digunakan sebagai sarana/alat/instrumen rekayasa sosial (law as a tool of social enginering) untuk mendorong dan menciptakan perubahan dalam masyarakat, maka aliran sejarah berpendapat bahwa hukum bukan diciptakan, namun ditemukan dalam masyarakat. Apabila ditelusuri lebih lanjut, penerapan konsep hukum sebagai sarana/alat/ instrumen rekayasa sosial dengan menempatkan hukum tertulis yang dibuat atas dasar aliran hukum positivisme bertentangan dengan politik hukum yang diletakkan oleh Founding Fathers yang menempatkan hukum adat sebagai sumber utama pembentukan hukum nasional, atas dasar Sila ketiga , Persatuan Indonesia dan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang mencerminkan adanya pluralism  hukum di Indonesia, namun tetap dalam bingkai persatuan.

Pancasila yang dirumuskan oleh Bung Karno, Bhinneka Tunggal Ika yang diangkat dari karya besar Mpu Prapanca dalam buku Sutasoma, serta Sila Persatuan, kesemuanya menunjukkan bahwa nilai-nilai yang hendak dijadikan dasar untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara (yang merupakan peculiar form of social life bangsa Indonesia) adalah nilai-nilai yang ada, tumbuh dan berkembang pada masyarakat Indonesia, seperti musyawarah, gotong royong, komunalis, dan magis religius, serta menghargai kebhinekaan (pluralisme). Oleh karena jauh sebelum kemerdekaan diproklamirkan, telah terdapat kesepakatan untuk menjadikan hukum adat sebagai sumber utama pembentukan hukum nasional. Jika demikian, maka pluralisme yang saling menunjang dalam bingkai NKRI merupakan suatu konsekuensi logis. Pluralisme menuntut adanya sikap saling mempercayai, saling menghargai, saling menghormati, dan saling membantu dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan subordinasi, diskriminasi dan eksploitasi Bukankah salah satu issue yang mencuat kepermukaan yang mengiringi fenomena kecenderungan desintegrasi NKRI adalah adanya eksploitasi sumber daya alam oleh pemerintah pusat terhadap daerah melalui instrumen hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) yang dibuat secara sepihak oleh pemerintah pusat, tanpa koordinasi dengan pemerintah daerah, yang secara ekonomis hanya menguntungkan pemerintah pusat atau pengusaha.

Dengan demikian cara berhukum yang harus dilaksanakan di Indonesia sebagai negeri yang pluralis adalah dengan memberi ruang untuk  tumbuh dan berkembangnya The Living Law pada masyarakat dan mensinergi-kannya dengan kepentingan nasional melalui upaya yang dikenal dengan harmonisasi hukum. Namun kenyataan yang berkembang tidaklah demikian. Hukum adat yang kiranya menjadi sumber utama dalam pembentukan hukum nasional ternyata semakin lama semakin tidak jelas kedudukan dan fungsinya dalam pembentukan hukum nasional, bahkan terkesan adanya upaya yang secara sistematis untuk menegasikan keberadaan hukum adat. Hal ini jelas terlihat dalam UU No.5/1960 tentang UUPA yang hanya memungkinkan hukum adat berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang atau Peraturan lain yang lebih tinggi atau kepentingan nasional (yang tidak jelas tafsirnya).

Fenomena di atas digambarkan dengan istilah “Memasukkan kambing (hukum adat) ke dalam kandang macan (hukum negara/hukum nasional/ hukum modern), sebagai akibat tindakan pada ahli hukum yang (merumuskan berbagai peraturan perundangundangan, kursif penulis) terlalu normatif, tanpa kesadaran anthropologis dan sosiologis yang cukup. (Sajipto Rahardjo, 2005) yang kini tinggal menunggu saatnya kambing (hukum adat) tersebut dimangsa. Probematika lainnya juga ini juga tergambar pada UU No.5/79 tentang Pemerintahan Desa yang membabat habis institusi lokal seperti, Marga, Gampong, Nagari dari akar sosiologisnya yaitu masyarakat hukum adat, dan mengganti-kannya dengan desa (modern) yang tidak mempunyai akar sosiologis. Dengan demikian maka secara formal tamatlah riwayat hukum adat sebagai the living law.

Indonesia yang demikian, merupakan suatu ironi apabila dibandingkan dengan negara-negara seperti Jepang yang mempertahankan kejepangannnya/nasionalitasnya di tengah serbuan hukum modern melalui Japanenesse Twist-nya, atau Inggris yang tetap mempertahankan Common Law System dengan tetap konsisten pada pola pembentukan hukum melalui Judge Made Law-nya, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai asli yang tumbuh dalam masyarakatnya. Namun ke dua negara tersebut dapat mencapai kedudukan sebagai negara modern.

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa masih ada cara-cara berhukum lainnya yang dapat menghantarkan suatu masyarakat menjadi modern, yang besar kemungkinan menimbulkan penolakan oleh suatu masyarakat, apabila suatu sistem hukum asing (termasuk hukum modern) dipaksakan (impossed) berlaku pada masyarakat, karena hukum yang dipaksakan berlaku tidak begitu efektif dan  kemungkinan besar bertentangan dengan peculiar form of social life dari masyarakat yang bersangkutan. Kondisi demikian lebih dikenal dengan istilah “Law of non transferability of law” (Robert B.Seidman, dalam Ronny Hanitijo Soemitro,1998)

Penghancuran institusi-institusi lokal otonom, yang selama ini menjadi pilar utama berfungsinya proses sosial pada masyarakat dilakukan oleh negara/ pemerintah dengan menggunakan berbagai peraturan perundang-undangan (hukum positif tertulis).

Hal ini menunjukkan bahwa, pemerintah beranggapan bahwa hanya peraturan perundang-undanganlah (hanya hukum positif tertulis) yang memadai dan mampu menjadi alat rekayasa sosial untuk mengantarkan masyarakat Indonesia mencapai kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan. Pemerintah tidak mempercayai bahwa hukum adat sebagai The Living Law akan mampu membawa masyarakat menuju cita-cita nasional tersebut.

Kondisi di atas menunjukkan terjadinya perubahan paradigma yang mendasar dalam cara  berhukum dan bernegara, yaitu dari cara berhukum yang semula non-positivis dan pluralis menjadi cara berhukum atas dasar faham positivis dan sentralistis. Hal ini jelas nampak dari politik hukum yang mengutamakan keinginan untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum nasional yang pada dasarnya merupakan implementasi dari ajaran atau mazhab hukum positivisme.

Dari uraian diatas dapat dikatakan terjadi dominasi hukum nasional atas hukum yang hidup pada masyarakat atau The Living Law. Untuk dapat mengefektifkan penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa sosial di Indonesia, maka setidaknya harus dipenuhi beberapa persyaratan antara lain (Yacob Djasmani, 2011):

  1.  Penghargaan terhadap the living law;
  2. Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan hendaklah diprioritaskan pada bidang bidang hukum yang bersifat netral;
  3. Memberikan kebebasan pada hakim untuk memutus perkara berdasarkan the living law, atas dasar faham hukum non positivistis;
  4. Melakukan inventarisasi putusan-putusan hakim yang memuat nilai-nilai hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sebagai pencerminan kesadaran hukumnya sebagai bahan hukum primer dalam pembuatan peraturan perundang-undangan;
  5. Mengembankan hubungan yang bersifat sinergi dalam pembuatan perundang-undangan sebagai upaya mengharmonisasikan berbagai kepentingan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengembankan kebijakan yang bersifat top down maupun bottom up secara simultan dan mencegah adanya upaya pemaksaan secara hukum baik oleh pusat terhadap daerah, maupun sebaliknya;
  6. Mengembangkan lembaga peradilan yang dapat menjadi badan yang menyelesaikan sengketa hukum antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah;
  7. Mengembangkan public control terhadap berbagai produk perundang-undangan, dll.

Disamping syarat diatas juga perlu adanya kelompok pendorong dalam masyarakat yang akan menjadi penggerak rasionalisasi hukum itu, agar sasaran yang ingin dicapai dapat ditentukan dengan jelas.

Kesimpulan

Secara teoritis, penerapan konsep Law as Tool of Social Engineering dimungkinkan di Indonesia, karena secara sosiologis perkembangan hukum di Indonesia lebih dekat pada sejarah perkembangan hukum yang termasuk pada kelompok Common Law System yang menempatkan masyarakat dan hakim sebagai aktor yang sangat berperan dalam membentuk/ menciptakan hukum, namun karena pengunaan hukum sebagai sarana rekayasa sosial di Indonesia tidak didasarkan pada konsep Common Law System yang memaknakan hukum sebagai Judge Made Law, namun yang ada hanyalah faham hukum Civil Law System yang bersifat positivistis, sehingga hukum dimaknakan sebagai Act yang harus dipatuhi oleh rakyat, dan hanya dibuat oleh pemegang kedaulatan (penguasa), maka penerapan konsep tersebut dalam rangka pembangunan hukum nasional mengalami kegagalan.

Kegagalan penerapan konsep law as tool of social engineering diakibatkan oleh karena, nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan tidak berdasarkan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar