BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia
merupakan negara hokum sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3.
Maka setiap tindakan yang bertentangan atas Pancasila dan Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 sebagai dasar hukum yang paling hakiki, harus selalu ditegakan guna
mencapai cita-cita dan tujuan Negara Indonesia.
Dengan perkembangan jaman yang semakin pesat
membuat banyak pergeseran nilai morall dan social dalam masyarakat. Salah
satunya perubahan pola hidup, tingkah laku dan tingkat kesopanan yang semakin
buruk (mengalami degradasi moral). tidak terkecuali di Negara Indonesia yang
notabenenya menjunjung tinggi nilai–nilai moral dan social dalam masyarakat.
Dampak globalisasi dan modernisasi mengakibatkan terjadinya westernisasi di
Indonesia, dimana pola hidup masyarakat yang awalnya menjunjung tinggi budaya
timur mengalami pergeseran ke pola hidup budaya barat (dampak westernisasi).
Dalam berkehidupan di
dalam masyarakat, setiap orang tidak akan lepas dari adanya interaksi antara
individu yang satu dengan individu yang lain. Sebagai mahluk sosial yang
diciptakan oleh Tuhan yang Maha Esa, manusia tidak akan dapat hidup apabila
tidak berinteraksi dengan manusia yang lain. Dengan seringnya manusia melakukan
interaksi satu sama lain, sehingga dapat menimbulkan hubungan antara dua
individu atau lebih yang bersifat negative dan dapat menimbulkan kerugian di
salah satu pihak. Hal tersebut pada saat ini sering disebut dengan tindak
pidana.
Terjadinya suatu
tindak pidana terdapat 2 (dua) pihak yang terlibat didalamnya, yaitu Pelaku dan
Korban. Bentuk atau macam dari suatu tindak pidana sangatlah banyak, misalnya tindak
pidana pembunuhan, perampokan, pencurian, penggelapan, pencemaran nama baik,
pencabulan serta pemerkosaan dan masih banyak yang lainnya. Tindak pidana
pemerkosaan yang terjadi dalam masyarakat didorong oleh berbagai faktor. Diantaranya
factor dari peran pelaku dan factor
dari korban itu sendiri. Namun dalam makalah ini kami akan mengkaji peranan
korban sehingga menimbulkan terjadinya tindak pidana pemerkosaan.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah peran korban terhadap
terjadinya pemerkosaan ditinjau dari aspek Viktimologi?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Viktimologi, Korban dan Pemerkosaan
1. Pengertian viktimologi
Menurut Arif Gosita
mengenai Viktimologi, adalah suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari
viktimisasi (criminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu
kenyataan social.” Viktimologi berasal dari kata Latin victima yang berarti korban dan logos yang berarti pengetahuan ilmiah
atau studi. Pengertian lain dari Viktimologi adalah suatu studi atau
pengetahuan ilmiah yang mempelajari masalah korban kriminal sebagai suatu
masalah manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Dan viktimologi
merupakan bagian dari kriminologi yang memiliki obyek study yang sama, yaitu
kejahatan atau korban kriminal (http://replaz.blogspot.com/2008/09/viktimologi.html)
Menurut (Dikdik M
Arief Mansur, 2006: 34) viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi
yang mempelajari suatu viktimisasi sebagai suatu permasalahan manusia yang
merupakan suatu kenyataan sosial. Dari beberapa devinisi tersebut tampak jelas
bahwa yang menjadi objek kajian viktimologi adalah mengenai korban. Selain itu
viktimologi juga mempelajari mengenai perlindungan yang harus diberikan oleh
pemerintah terhadap masyarakat yang telah menjadi korban tindak pidana, tetapi
disini viktimologi juga mempelajari peranan korban terhadap terjadinya tindak
pidana khususnya tindak pidana pemerkosaan. Peranan korban yang dimasud itu
seperti apa yang dilakukan oleh korban, dan dalam tindakan yang dilakukan oleh
korban tersebut terdapat hubungan yang penting sehingga terjadinya tindak
pidana.
2.
Pengertian
Korban
Perlunya pengertian
korban dimuat dalam pembahasan ini yaitu untuk membantu menentukan secara jelas
batas-batas apa yang menjadi korban.
Korban
adalah mereka yang menderita fisik, mental, sosial sebagai akibat tindakan
jahat mereka yang mau memenuhi kepentingan diri sendiri atau pihak yang
menderita. (Arif Gosita, 1983: 79)
Berbeda
dengan Arif Gosita, menurut Muladi yang dimaksud dengan korban adalah orang
yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian termasuk
kerugian fisik maupun mental, emosional, ekonomi, gangguan substansial terhadap
hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hokum
pidana di masing-masng Negara termasuk penyalah gunaan kekuasaan. (Mansur dan
Gultom, 2007:47)
Lebih
luas di jabarkan (Abdussalam, 2010: 6-7) mengenai definisi dan jenis-jenis
korban sebagai berikut:
1) Korban
perseorangan, adalah setiap orang sebagai individu mendapat penderitaan baik
jiwa, fisik, materil maupun non materil.
2) Korban
institusi, adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian dalam
menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat dari
kebijakan pemerintah, kebijakan swasta maupun bencana alam.
3) Korban
lingkungan hidup, adalah setiap lingkungan alam yang di dalamnya berisikan
kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan masyarakat serta semua jasad
hidup yang tumbuh berkembang dan kelestariannya sangat tergantung pada
lingkungan alam tesebut yang telah mengalami kerusakan yang ditimbulkan oleh
kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia baik individu maupun
masyarakat yang tidak bertanggungjawab.
4) Korban
masyarakat, bangsa dan Negara, adalah masyarakat yang diperlakukan disk riminatif
tidak adil, tmpang tindih pembagian hasil pembangunan serta hak sipil, hak
politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya.
Dalam makalah ini konsep kajian kami mengenai korban
yaitu korban perseorangan/ individu yang dapat mengalami tindak pidana
pemerkosaan (asuila). Selanjutnya Tipilogi Korban Kejahatan, dimensinya dapat ditinjau dari
dua perspektif, yaitu:
Ditinjau
dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan. Melalui
kajian perspektif ini, maka Ezzat Abdel Fattah menyebutkan beberapa tipilogi
korban, yaitu;
1)
Nonparticipating victims adalah mereka yang
menyangkal/menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi
dalam penanggulangan kejahatan.
2)
Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai
karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu.
3)
Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan
kejahatan atau pemicu kejahatan.
4)
Particapcing
victims adalah mereka
yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya
menjadi korban.
5)
False victims adalah mereka yang menjadi
korban karena dirinya sendiri.
Ditinjau dari
perspektif tanggung jawab korban itu sendiri maka Stepen Schafer mengemukakan
tipilogi korban menjadi tujuh bentuk yaitu :
1)
Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada
hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk
itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban.
2)
Proactive victims merupakan korban yang
disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari
aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.
3)
Participacing victims hakikatnya perbuatan korban
tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil
uang di bank dalam jumlah besar yan tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan
tas plastik sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini
pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku.
4)
biologically
weak victim adalah
kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan
manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau
dari pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat
karena tidak dapat memberi perlindunga kepada korban yang tidak berdaya.
5)
Socially
weak victims adalah
korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti gelandangan
dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara
penuh terletak pada penjahat atau masyarakat.
6)
Self victimizing victims adalah koran kejahatan yang
dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu
pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban sekaligus sebagai pelaku
kejahatan.
7)
Political victims adalah korban karena lawan
polotiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertnggungjawabkan
kecuali adanya perubahan konstelasi politik (Lilik Mulyadi,2003:123-125).
Mendelsohn membuat suatu
tipologi korban yang di klasifikasikan menjadi 6 tipe antar lain:
1. The
Completely innocent victim. Korban yang sama sekali tidak bersalah oleh Mendelsohn di anggap
sebagai korban ideal yang cenderung terjadi pada anak-anak dan mereka juga
tidak menyadari ketika ia menjadi korban.
2.
The victim with
minor guilty and victim due ti his ignorance. Korban dengan kesalahan kecil
dan korban yang disebabkan kelalaian, dapat di contohkan, seorang wanita yang
tingkah lakunya menjadi provokasi bagi pelaku untuk melakukan tindak pidana
pemerkosaan.
3. The victim as guilty as offender and
voluntary victim. Korban sama salahnya dengan pelaku dan korban suka rela.
Sukarela oleh Mendelsohn
seperti, bunuh diri, bunuh diri dengan Adhesi, Euthanasia, bunuh diri yang dilakukan
oleh suami istri.
4. The
victim more guilty than the offender. Maksudnya korban yang memancing dan atau menggoda
seorang untuk berbuat jahat, juga korban lalai, yang mempengaruhi seseorang
untuk melakukan kejahatan.
5. The
most guilty and the victim as is gultu alone. Korban yang sangat salah
dan korban yang salah sendirian. Misalanya, terjadi pada korban yang sangat
agresif terlebih dahulu melakukan kejahatan namun akhirnya justru ia sendiri
yang menjadi korban.(contoh penyerang yang mati akibat pembelaan diri dari
orang lain yang diserangnya).
6.
The simulating victim and the imagine as victim. Dalam hal ini Korban pura-pura
dan korban Imajinasi contohnya pada mereka yang mengaku menjadi korban demi
kepentingan tertentu atau orang menjadi paranoid,hysteria, atau pikun.
3.
Pengertian
Pemerkosaan
Dalam kamus bahasa
Indonesia kata perkosa diartikan dengan paksa, renggut (secara paksa). Selanjutnya
menurut Soetandyo Wignjosoebroto pemerkosaan adalah suatu usaha melapiaskan
nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara yang
menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar. (Abdul Wahid dan Muh. Irfan. 2001:40).
B.
Peranan Korban Terhadap
Terjadinya Pemerkosaan Ditinjau Dari Aspek Viktimologi
Sebelum membahas
mengenai peranan korban terhadap kejahatan kami terlebih dahulu akan membahas
mengenai hubungan korban dengan kejahatan.
Kejahatan adalah suatu hasil interaksi karena adanya interelasi antara
fenomena yang ada dan yang saling mempengaruhi. Pada umumnya dikatakan hubungan
korban dengan kejahatan adalah pihak yang menjadi korban sebagai akibat
kejahatan. Pihak tersebut menjadi korban karena ada pihak lain yang melakukan
kejahatan. Hal lain yang disepakati dalam haubungan ini yang terpenting pihak
korban adalah pihak yang di rugikan dan pelaku adalah pihak yang mengambil
untung atau merugikan korban. Namun lain halnya dalam makalah ini, korban yang
dimaksud adalah korban yang tidak murni dalam artian korban turut sebagai
penyebab terjadinya kejahatan. Sehubungan dengan hal tersebut dengan melalui
makalah ini kami akan mengemukakan peranan korban dalam kejahatan pemerkosaan
namun terlebih dahulu akan disebutkan faktor-faktor terjadinya tindak pidana
pemerkosaan yaitu sebagai berikut:
1.
Adanya kesempatan
2.
Niat (peran pelaku)
3.
Pergaulan
4.
Peran korban
Menurut Hentig yang
dikutip (Rena Yulia, 2010: 81) beranggapan bahwa peranan korban dalam
menimbulkan kejahatan adalah:
1.
Tindakan kejahatan memang dikehendaki sikorban untuk
terjadi.
2.
Kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan
sikorban untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar.
3.
Akibat yang merugikan sikorban mungkin merupakan kerja
sama antara pelaku dan korban.
4.
Kerugian akibat tindak kejahatan atau terjadinya
kejahatan akibat adanya provokasi oleh sikorban.
Dalam kasus pemerkosaan,
salah satu penyebab terjadinya kejahatan ini karena adanya provokasi dari
sikorban. Provokasi yang di maksud dalam hal ini ada dua bentuk provokasi.
Pertama, cara berpakaian sikorban yang berperilaku seksi (vulgar) atau
buka-bukaan . Kedua pola hidup sikorban yang dekat dengan dunia gemerlap malam.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hentig pada poin (d). bahwa
kerugian akibat tindak kejahatn atau terjadinya kejahatan akibat adanya
provokasi oleh sikorban.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
tinjauan viktimologi terjadinya tindak pidana pemerkosaan tidak sepenuhnya
dikarenakan peran pelaku (niat dan kesempatan ) tetapi juga karena adanya peran
korban yang menyebabkan terjadinya tindakan pemerkosaan. Peran korban yang
dimaksud adalah pola hidup dan tingkah laku korban yang senang berpakaian
terbuka(vulgar) dan dekat dengan dunia malam.
B. Saran
Untuk
menekan angka kriminalitas khususnya tindak pidana pemerkosaan maka sangat di
butuhkan kesadaran dari masyarakat untuk berperilaku hidup yang
menjunjungtinggi moralitas dan etika.
DAFTAR
PUSTAKA
Gosita,
Arif, 1985, Masalah Korban Kejahatan ”Kumpulan
Karangan“, Akademika pressindo, Jakarta.
Tim
Prima Press, 2006, Kamus Ilmiah Populer bahasa
Indonesia, Gita Media Press,Surabaya.
Wahid
Abdul dan Muh Irfan, 2001, Perlindungan
Terhadap Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, PT.Refika
Aditama Bandung, Bandung.
Waluyo,
Bambang, 2011, Viktimologi Perlindungan
Korban Dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar