Laman

Sabtu, 27 April 2013

UPAYA PENAL DAN NON- PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI*


BAB I
PENDAHULUAN
A.          Latar Belakang
Pada tahun 2004 lembaga Transparency Coruption mengeluarkan sebuah hasil penelitian yang menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu Negara terkorup di dunia. Menaggapi hasil penelitian tersebut, Negara Indonesia hanya menikmati alias tidak melakukan gregat politik, tidak ada gerakan massif kebudayaan, tidak juga ada langkah hukum yang gegap gempita tekad dan aksi yang tertata langkahnya, sebab korupsi telah menjadi gerakan sistematik  merata vertikal dan horizontal yang berujung kehancuran karena telah menjadi gerakan sistemik. Banyak orang begitu bangga, gagah berani dan enjoy menjarah uang rakyat dan mereka sangat menikmati hasil korupsinya. Koruptor ini terutama adalah orang yang menduduki jabatan strategis dalam beragai institusi Negara dan pemerintahan, mulai dari bawahan sampai atasan/pimpinan. Korupsi telah menjadi virus ganas di tanah air yang menyebar begitu cepat dan sangat menakjubkan.
Di negeri ini, korupsi telah di lakukan secara terbuka dan terang-terangan. Kemampuan mereka dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi menjadi modal untuk memuluskan perbuatan dan keinginannya menjarah uang rakyat. Para koruptor telah mengidap krisis moral yang sangat kronis dan matinya hati nuranih dari mereka, sehingga faktor agama tidak punya ruang dalam basis kesadaran mereka. Justru agama dijadikan kedok untuk melakukan korupsi. Terbukti kementrian Agama adalah salah satu institusi pemerintah yang tingkat korupsinya sangat tinggi, karena himbauan moral dan gerakan sosial tidak mampu membendung laju korupsi, maka penegakan hukum secara tegas adalah salah satu cara yang paling mungkin untuk dilakukan. Hukum harus mampu memberikan efek jerah pada para koruptor. Namun Kebijakan Hukum pidana (baik penal maupun non-penal policy) yang diambil dalam pembentukan dan dalam usaha melahirkan perundangan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diyakini oleh sebahagian besar kalangan masyrakat bangsa ini benar-benar belum menyentuh hakikat dari pembentukan hukum itu sendiri. Salah satu masalahnya adalah ketidak jelasan dan ketidak tegasan mengenai pembuktian dan sanksi hukuman yang kurang berat dan setimpal dengan dampak yang ditimbulkan dari perbuatan koruptor tersebut.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang berhubungan dengan kebijakan hukum pidana (penal policy) dalam menanggulangi Tindak pidana korupsi sebagai berikut:
1.      Apa faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi?
2.      Bagaimana Upaya penanggulangan tindak pidana korupsi melalui kebijakan hukum dengan sarana Penal dan “Non-Penal?
C.     Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.      Tujuan penelitian
a.       Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi
b.      Mengetahui upaya penanggulangan tindak pidana korupsi melalui kebijakan hukum pidana dengan sarana penal dan Non-Penal
2.      Manfaat penelitian
Secara teoritis diharapkan dapat memberi sumbangsih ilmiah dalam pengembangan kebijakan hukum pidana. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan kontribusi dan solusi konkrit bagi penegak hukum dan KPK dalam penanggulangan tindak pidana korupsi.

BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) dan Tindak Pidana Korupsi
a.       Pengertian Kebijakan Hukum pidana (Penal Policy)
Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Menurut Marc Ancel, pengertian kebijakan hukum pidana (penal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.[1]
Selanjutnya Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normative dan sistematik dogmatik. Disamping pendekatan yuridis faktual juga dapat berupa pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin ilmu sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan social dan pembangunan nasional pada umumnya.[2]
Barda Nawawi mengemukakan pola hubungan antar kebijakan hukum pidana (penal policy) dengan upaya penanggulangan kejahatan, beliau mengatakan bahwa pencegahan  dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan denga pendekatan integral dan ada keseimbanga antara penal dan non penal . Pencegahan  dan pendekatan kejahatan dengan sarana penal merupaka penal policy atau Penal law Enforcement policy, yang fungsionalisasinya melalui beberapa tahap seperti tahap Formulasi (kebijakan legislatif), Aplikasi (kebijakan yudikatif) dan  Eksekusi (kebijakan Administratif).
b.      Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Istilah tindak pidana atau Starfbaarfeit berasal dari bahasa belanda dan bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia mempunyai arti sebagai tindak pidana. Pada dasarnya istilah Starfbaarfeit  secara harfiah terdiri dari tiga kata. Straf yang diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Kata Baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Kata Feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Jadi istilah Starfbaarfeit secara singkat bisa diartikan perbuatan yang boleh dihukum.[3] Dalam bahasa Indonesia istilah tindak pidana memiliki ragam pengertian antara lain, perbuatan yang dapat dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, pelanggaran pidana. Perumusan tindak pidana ialah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang diancam oleh hukuman. Memuat unsur-unsur, perbuatan manusia, perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan.
Korupsi berasal dari kata Corruptio atau Corruptus yang artinya kerusakan. Secara harfiah korupsi berarti jahat atau busuk.[4]oleh karena itu tindak pidana korupsi berarti suatu delik akibat perbuatan jahat, buruk, busuk atau rusak. Menurut Andi Hamzah secara harfiah kata korupsi berarti kebusukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak beremoral penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau menfitnah.[5] Sedangkan dalam kamus hukum korupsi adalah suatu bentuk tindak pidana dengan memperkaya diri sendiri dengan melakukan penggelapan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keungan perekonomian Negara, perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya atau kedudukan yang dapat merugikan orang lain atau Negara.[6]
Dari beberapa pengertian diatas, dapat diartikan bahwa korupsi adalah perbuatan yang menyimpang dari tugas dan wewenang pejabat Negara/pemerintah yang merugikan keuangan atau perekonomian Negara dan merugikan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Untuk lebih jelasnya berikut ini dapat dilihat ciri khas dan unsur dari perbuatan korupsi:
1)      Dalam proyek pengadaan barang dan jasa.
2)      Pada umumnya Pelaku tindak pidana korupsi memiliki tingkat pendidikan yang tinggi.
3)      Pada umumnya dilakukan oleh beberapa orang baik secara bersama-sama maupun melalui perantara bawahannya.
4)      Perkara tindak pidana korupsi pada umumnya berkaitan dengan jabatn atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara.
5)      Perkara korupsi umumnya terungkap setelah berselang waktu yang relatif lama akibatnya sulit untuk mendapatkan alat dan barang bukti.
Selanjutnya unsur-unsur korupsi sebagaimana termaktub dalam pasal 2-13 Undang-undang No. 31 tahun 1999. Namun pada umunya unsur korupsi seperti Pada pasal 2 ayat (1) meliputi: memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain dan korporasi dengan cara melawan hukum dan merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.[7]
Adapun bentuk  atau jenis Tindak pidana Korupsi menurut J. Soewartojo yaitu sebagai berikut:[8]
1)      Pungutan liar jenis tindak pidana, yaitu korupsi uang negara, menghindari pajak dan bea cukai, pemerasan dan penyuapan.
2)      Pungutan liar, jenis pidana yang sulit dibuktikan, yaitu komisi dalam kredit bank, komisi tender proyek, imbalan jasa dalam pemberian izin, kenaikan pangkat, pungutan terhadap uang perjalanan, pungli pada pos-pos pencegatan di jalan, pelabuhan dan sebagainya.
3)      Pungutan liar, jenis pungutan tidak sah yang dilakukan oleh pemda.
4)      Penyuapan dan Nepotisme
5)      Pemerasan dan Pencurian
Sedangkan menurut Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 (KAK 2003) ada 4 macam tipe tindak pidana korupsi yaitu:[9]
1)      Tindak pidana korupsi penyuapan pejabat-pejabat public nasional
( Bribery of National Publik Officials)
2)      Tindak pidana Korupsi penyuapan di Sektor Swasta ( Bribery in the Private Sector)
3)      Tindak Pidana Korupsi Terhadap Perbuatan memperkaya secara tidak sah ( Illicit Enrichment )
4)      Tindak Pidana Korupsi terhadap Memperdagangkan pengaruh ( Trading in Influence)
2.      Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Korupsi
Mengingat ciri khas tindak pidana korupsi  yang multidimensional maka sebab atau kondisi yang bersifat kriminogen untuk timbulnya korupsi juga sangat luas , baik dibidang moral, sosial, ekonomi, politik, budaya, maupun kesenjangan sosial ekonomi dan kelemahan  birokrasi.
secara singkat faktor penyebab korupsi meliputi 5 aspek yaitu:
a.       Aspek individu Pelaku
1)      Sifat tamak dan keserakahan
Dalam hal ini yang menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana korupsi adalah sifat tamak, serakah dan rakus yang ada pada diri manusia tersebut. Berapa pun kekayaan dan penghasilan yang sudah diperoleh seseorang tersebut apabila ada kesempatan untuk melakukan korupsi maka akan tetap dilakukan juga.
2)      Moral yang lemah dan ajaran agama yang kurang diterapkan secara benar
Seseorang yang  moralnya lemah cenderung lebih mudah untuk terdorong melakukan tindak pidana korupsi. Godaan itu baik dari godaan dari dalam diri seseorang maupun godaan dari orang lain yaitu, pimpinan, teman setingkat, dan bawahan. Selain itu pemahaman terhadap ajaran-ajaran agama yang dianutnya tidak sesuai kenyataan hidup yang dihadapi oleh para pelaku korupsi, mereka memahami ajaran Agama yang dianutnya melarang korupsi namun di terapkan hanya sekedar seremonial saja.
3)      Penghasilan yang tidak memadai
Dalam hal ini adalah suatu keterpaksaan untuk mencari tambahan penghasilan. Usaha untuk mencari tambahan penghasilan tersebut sudah merupakan bentuk korupsi misalnya, menggelapkan peralatan kantor, perjalanan dinas fiktif, dan mengadakan kegiatan yang tidak perlu dengan biaya yang tidak wajar. Dan akan lebih parah lagi apabila orang tersebut mendapat kesempatan untuk melakukan korupsi terhadap sumber daya yang lebih besar yang dimiliki instansi atau lembaganya.
4)      Gaya hidup konsumtif
Gaya hidup yang konsumtif terutama di kota-kota besar menjadikan penghasilan yang rendah semakin tidak mencukupi seingga ini akan mendorong seseorang untuk melakukan segala hal termasuk melakukan korupsi agar kebutuhannya dapat terpenuhi.
b.      Aspek Organisasi/Institusi
1)      Kurang adanya keteladanan dari pimpinan
Pimpinan yang baik akan menjadai panutan dari setiap anggotanya, apabila pimpinan mencontohkan gaya hidup kesederhanaan, kedisiplinan, kejujuran, dan berlaku adil terhadap anggotanya , maka para anggotanya pun akan cenderung bergaya hidup yang sama. Namun teladan yang baik dari pimpinan juga tidak menjamin seutuhnya bahwa korupsi tidak akan muncul di dalam suatu institusi karena masih banyak sebab lainnya.
2)      Tidak adanya kultur instistusi/ organisasi yang benar
Kultur organisasi mempunyai pengaruh terhadap anggota institusi tersebut terutama pada kebiasaan, cara pandang dan sikapnya dalam menghadapi suatu keadaan. Misalnya di suatu bagian dari institusi seringkali muncul budaya uang pelican, “amplop” , hadiah, jual beli temuan, dan lain-lain yang mengarah ke akibat yang tidak baik bagi institusi. Oleh nya itu perlu membentuk dan menjaga kultur yang benar dengan membangun kultur institusi/organisasi yang resmi dan kode etik atau aturan perilaku yang secara resmi diberlakukan pada organisasi.
3)      Sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai
Akuntabilitas yang kurang memadai akan mengakibatkan kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Bahkan tingkat kehilangan sumber daya yang dimilikinya juga kurang diperhatikan. Akibatnya, tingkat perhatian atau tingkat ketertarikan dari manajemen di jajaran pemerintahan secara perlahan namun pasti memberikan dorongan untuk terjadinya kebocoran sumber daya yang dimiliki instansi pemerintah. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk terjadi korupsi.
4)      Kelemahan sistem pengendalian manajemen
Lemahnya sistem Pengendalian manajemen membuat banyak pegawai yang melakukan korupsi. Dalam lingkungan APBN Sistem pengendalian manajemen ini dikenal Waskat (Pengawasan Melekat). Adanya kolusi antara beberapa orang pejabat yang terkait dalam suatu pelaksanaan kegiatan menyebabkan runtuhnya pengendalian manajemen yang ada. Sehingga pegawai yang mengetahui sistem pengendalian menejmennya lemah akan memberi peluang dan kesempatan baginya untuk melakukan korupsi.
5)      Manajemen cenderung menutup korupsi di dalam institusi/organisasinya
Pada umumnya manajemen institusi/orgnisasi dimana terjadi korupsi enggan membantu mengungkap korupsi tersebut walaupun korupsi tersebut tidak melibatkan dirinya. Akibatnya jajaran manajemen cenderung untuk menutupi korupsi yang ada, dan berusaha menyelesaikannya dengan cara-caranya sendiri yang kemudian menimbulkan praktik korupsi yang lain.
c.       Aspek Masyarakat
Nilai-nilai yang berlaku di masyarkat ternyata sangat kondusif untuk terjadinya korupsi. Misalnya banyak anggota masyarakat yang dalam pergaulan sehari-harinya ternyata menghargai seseorang karena didasarkan pada kekayaan yang dimilki orang yang bersangkutan. Sehingga hal inilah yang membuat seseorang begitu berambisi untuk memperkaya diri meskipun dengan jalan korupsi. Selaian itu masyarakat kurang menyadari bahwa yang paling dirugikan dari terjadinya praktik korupsi adalah masyarakat itu sendiri. Karena bila negara mengalami kerugian maka masyarakat juga akan merasakan dampak dari hal tersebut. Oleh karena itu masyarakat juga harusnya berperan aktif mambantu memberantas dan mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.
d.      Aspek Penegak hukum dan Peraturan Perundang-undangan
1)      Lemahnya penegakan hukum
Lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi mencakup beberapa aspek, pertama, tidak adanya tindakan hukum terhadap pelaku dikarenakan pelaku tersebut adalah atasan atau bawahan pelaku, si penegak hukum telah menerima bagian dari hasil korupsi si pelaku, atau pelaku adalah kolega dari pimpinan instansi penegak hukum. Kedua, jika ada tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum maka penanganannya akan di ulur-ulur dan sanksinya diperingan. Ketiga, tidak dilakukan pemidanaan sama sekali, karena sipelaku mendapat beking (dorongan) dari jajaran tertentu atau korupsinya bermotifkan kepentingan tertentu.
2)      Kalitas peraturan perundang-undangan kurang memadai
Untuk dapat melaksanakan suatu peraturan perundang-undangan yang baik, maka di dalam peraturan perundang-undangan perlu dirumusakan dengan jelas latar belakang dan tujuan diberlakukannya peraturan tersebut. Dengan rumusan yang jelas maka penjabaran aturan-aturan di dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan akan lebih mudah, disamping itu evaluasi untuk menilai tingkat efektivitasnya jelas lebih mudah.
3)      Penerapan sanksi yang ringan dan tidak konsisten serta pandang bulu
Seseorang akan mudah melakukan tindak pidana korupsi karena  sanksi yang diberikan terlalu ringan, sehingga efek jerah yang ditimbulkan dari sanksi tersebut tidak ada bahkan tidak setimpal dengan dampak yang ditimbulkan dari korupsi tersebut, selain itu penerapan sanksi juga tidak kosisten dan pandang bulu karena adanya pengaruh kedudukan atau pangkat  orang yang melakukan korupsi tersebut, sehingga ini akan mengurangi efektivitas peraturan tersebut.
e.       Aspek politik
Terjadinya korupsi di bangsa ini bisa di sebabkan oleh faktor politk atau yang berkaitan dengan kekuasaan. Rumusan penyelewengan penggunaan uang negara telah di populerkan oleh Lord Acton yang hidup pada tahun 1834-1902 di Inggris. Beliau menyatakan bahwa “ Power tent to corrupt, but absolute power corrupts absolutely”, yang berarti kekeuasaan cenderung korupsi, tetapi kekuasaan yang berlebihan mengakibatkan korupsi berlebihan pula.[10]
Secara umum, penyebab terjadinya korupsi adalah kesempatan dan jabatan/kekuasaan. Selain itu lemahnya integritas moral juga turut menjadi factor penyebab terjadinya korupsi, karena hanya orang yang tak bermorallah yang menginginkan kehancuran suatu bangsa disamping itu aktor korupsi itu umumnya dilakukan oleh sekelompok orang dari kalangan yang berpendidikan tinggi, sehingga pemberantasannya sering mendapat hambatan.
3.      Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Dengan Sarana “ Penal ” dan “Non- Penal”
a.      Sarana Penal
Secara umum upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui sarana “penal” dan “non penal”, Upaya penanggulangan hukum pidana melalui sarana (penal) dalam mengatur masyarakat lewat perundang-undangan pada hakikatnya merupakan wujud suatu langkah kebijakan (policy).
Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana (sarana penal) lebih menitik beratkan pada sifat “Represive” (Penindasan/pemberantasan/penumpasan), setelah kejahatan atau tindak pidana terjadi. Selain itu pada hakikatnya sarana penal merupakan bagian dari usaha penegakan hukum oleh karena itu kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegak hukum (Law Enforcement). Dengan kata lain penanggulangan korupsi dapat dilakukan dengan cara menyerahkan kasus tindak pidana korupsi yang terjadi kepada pihak penegak hukum dalam hal ini, polisi, jaksa, dan KPK untuk diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dimana hukuman atau sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku diharapkan dapat memberikan efek jerah kepada pelaku sesuai dengan tujuan pemidanaan.
Walaupun penggunaan sarana hukum pidana “penal” dalam suatu kebijakan kriminal bukan merupakan posisi strategis dalam penanggulangan tindak pidana korupsi, namun bukan pula suatu langkah kebijakan yang bisa di sederhanakan dengan mengambil sikap ekstrim untuk menghapuskan sarana hukum pidana “penal”. Karena permasalahannya tidak terletak pada eksistensinya akan tetapi pada masalah kebijakan penggunaannya.
b.      Sarana Non penal
Usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi tindak pidana korupsi adalah tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), tetapi dapat juga denga menggunakan sarana-sarana yang non-penal.
Sarana non-penal mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.  Upaya preventif yang di maksud adalah upaya yang dilakukan sebelum terjadinya tindak pidana korupsi dengan cara menangani  faktor-faktor pendorong terjadinya korupsi, yang dapat di laksanakan dalam beberapa cara:[11]
1.      Cara Moralistik
Cara moralistik dapat dilakukan secara umum melalui pembinaan mental dan moral manusia, khotbah-khotbah, ceramah dan penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum.
2.      Cara Abolisionik
Cara ini muncul dari asumsi bahwa korupsi adalah suatu kejahatan yang harus di berantas dengan terlebih dahulu menggali sebab-sebabnya dan kemudian diserahkan kepada usaha-usaha untuk menghilangkan sebab-sebab tersebut.
Kemudian mengkaji permasalahan  yang tengah dihadapi masyarakat serta dorongan individual yang mengarah  pada tindakan-tindakan korupsi, meningkatkan kesadaran hukum masyarakat serta menghukum orang-orang yang telah melakukan korupsi berdasarkan hukum yang berlaku.
Dengan demikian dilihat dari sudut pandang politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif  yang non penal mempunyai kedudukan yang sangat strategis  dalam pencegahan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu suatu kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan seluruh kegiatan preventif kedalam sistem kegiatan Negara yang teratur.
Upaya penaggulangan kejahatan non- penal dapat berupa:
1.      Pencegahan tanpa pidana (Prevention without punishment)
2.      Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (Influencing views of society on crime and punishment mass media).
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat  jalur non-penal lebih bersifat tindakan pencegahan , maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan korupsi dimana faktor  tersebut berpusat pada masalah-masalah atau kondisi sosial secara langsung atau tidak langsung dapat menumbuh suburkan kejahatan.
Melihat tindak pidana korupsi yang tengah membudaya di Indonesia saat ini, maka sebenarnya perlu ketegasan dan kejelasan mengenai praktis operasional. Praktis operasional yang di maksud adalah tindakan preventif dan represif harus ada di dalamnya. Sebab kedua langkah dan tindakan tersebut akan menghasilkan penyelenggaraan Negara yang bebas dan bersih dari korupsi.
  
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1)      Faktor-faktor penyebab timbulnya tindak pidana  korupsi terdiri dari 5 (lima) aspek antara lain, Aspek individual pelaku yaitu, adanya sifat tamak dan keserakahan, Moral yang lemah dan ajaran agama yang kurang diterapkan secara benar, Penghasilan yang tidak memadai dan gaya hidup konsumtif. Aspek organisasi/institusi yaitu kurang adanya keteladanan dari pimpinan, Tidak adanya kultur instistusi/ organisasi yang benar, Sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, adanya kelemahan sistem pengendalian manajemen dan Manajemen cenderung menutup korupsi di dalam institusi/organisasinya. Aspek Masyarakat, Aspek politik dan Aspek Penegak hukum dan Peraturan Perundang-undangan yaitu lemahnya penegakan hukum, Kulaitas peraturan perundang-undangan kurang memadai dan Penerapan sanksi yang ringan dan tidak konsisten serta pandang bulu.
2)      Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana (sarana penal) dan lebih menitikberatkan pada sifat “Represive” ( Penindasan / pemberantasan / penumpasa ) setelah kejahatan atau tindak pidana terjadi. Selain itu pada hakikatnya sarana penal merupakan bagian dari usaha penegakan hukum oleh karena itu kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegak hukum (Law Enforcement). Sedangkan Sarana Non-Penal (Preventif) merupakan upaya-upaya yang dilakukan sebelum terjadinya tindak pidana korupsi dengan cara menangani  faktor-faktor pendorong terjadinya korupsi, yang dapat di laksanakan dalam beberapa cara misalnya cara Moralistik dan Abolisionik.
B.     Saran
1.      Korupsi merupakan penyakit yang mudah menyerang siapa saja terutama para pemegang kekuasaan, hal ini dikarenakan sikap manusia yang serakah dan tidak pernah puas dengan apa yang telah dimilikinya. Oleh karena itu memberantas tindak pidana korupsi harus dimulai dari diri pribadi seseorang dengan menanamkan dalam hati bahwa korupsi adalah perbuatan yang tidak dibenarkan dan dapat merugikan diri sendiri, keluarga maupun orang lain teruatama kepentingan negara dan rakyat bangsa Indonesia.
2.      Perlu diupayakan peningkatan kualitas aparat penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hingga hakim.
3.      Sanksi hukum yang diberikan harus berat, tanpa diskriminasi dan pandang bulu.


 * Telah dipresentasikan pada mata kuliah Kebijakan Hukum Pidana yang diampuh Dra. Dani Krisnawati, S.H.,M.Hum - Supriyadi, S.H.,M.Hum



DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi, 1984, Korupsi Di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, PT.Gramedia, Jakarta

Hartanti, Evi,2005, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta.

Irfan, Nurul, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika Offset, Jakarta.

KPK,2006, Memahami untuk Membasmi, Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi,
KPK, Jakarta
Marwan dan Jimmy,2009, Kamus Hukum “Dictionary Of Law Complete Edition”,Reality Publisher, Surabaya.

M. Echols, John dan Hassan Shadily,1997, Kamus Inggris-Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Mulyadi,Lilik, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya, Alumni, Bandung.

Nawawi Arief, Barda, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Media Group, Jakarta.
           
Surachmin dan Suhandi Cahaya, 2011, Strategi & Teknik Korupsi “Mengetahui Untuk Mencegah” Sinar Grafika, Jakarta.

Yunara, Edy, 2005, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi Berikut Studi Kasus, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005,


[1]  Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Prenada Media Group, 2011, Hal. 23.
[2]  Ibid, Hal 24         
[3]  Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2011, Hal.25
[4]  John M. Echols dan Hassan Shadily,Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 1997, Hal.149
[5]  Andi hamzah,Korupsi Di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: PT.Gramedia, 1984, Hal. 19
[6]  Marwan dan Jimmy,Kamus Hukum “Dictionary Of Law Complete Edition”, Surabaya:Reality Publisher, 2009, Hal. 384
[7]  KPK, Memahami untuk Membasmi, Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: KPK, 2006, Hal. 25
[8]  Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, Hal. 20
[9] Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya, Alumni, Bandung, 2007, Hal. 41
[10]  Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi & Teknik Korupsi “Mengetahui Untuk Mencegah” Jakarta: Sinar Grafika, 2011, Hal. 108
[11]  Edy Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi Berikut Studi Kasus, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005, Hal. 60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar